Surah Al-Baqarah Bag. 2

Cover Tafsir

الم

Alif laam miim. (QS. 2:1)

Para ahli tafsir telah berbeda pendapat mengenai huruf-huruf potongan yang terdapat pada awal beberapa surat. Di antara mereka ada yang mengatakan, bahwa itu merupakan huruf-huruf yang hanya Allah sendiri yang mengetahui maknanya. Maka mereka mengembalikan ilmu mengenai hal itu kepada Allah dengan tidak menafsirkannya. Pendapat ini dinukil al-Qurthubi dalam tafsir-nya dari Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, dan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhum.

Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam mengatakan, huruf-huruf itu adalah nama-nama surat al-Qur’an.

Dalam tafsirnya, al-Allamah Abul Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari menyatakan hal tersebut menjadi kesepakatan banyak ulama. Beliau juga menukil dari Sibawaih bahwa ia menegaskan memperkuat hal itu. Berdasarkan hadits dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat Alif laam mim as-Sajdah (Surat as-Sajdah) dan hal ata ‘ala al-Insan (Surat al-Insan) pada shalat subuh pada hari Jum’at.

Sebagian ulama meringkaskan dari masalah ini dengan menyatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa huruf-huruf ini tidak diturunkan Allah Ta’ala dengan sia-sia dan tanpa makna. Orang yang tidak tahu mengatakan bahwa “Di dalam al-Qur’an terdapat suatu hal yang tidak memiliki makna sama sekali,” ini merupakan kesalahan besar. Karena ternyata suatu hal yang dimaksud itu pada hakekatnya memiliki makna, jika kami mendapatkan riwayat yang benar dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tentu kami akan menerimanya, dan jika tidak, maka kami akan menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala seraya berucap, “Kami beriman kepadanya. Semuanya berasal dari sisi Rabb kami.”

Dan para ulama sendiri belum memiliki kesepakatan mengenai huruf-huruf tersebut, dan mereka masih berbeda pendapat. Barangsiapa yang menemukan pendapat yang didasarkan dengan dalil kuat, maka hendaklah ia mengikutinya, jika tidak, maka hendaklah ia menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala sehingga diperoleh kejelasan mengenai hal tersebut.

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (QS. 2:2)

Ibnu Juraij menceritakan, Ibnu Abbas mengatakan, “ذَلِكَ الْكِتَابُ” berarti kitab ini. Hal yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, as-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Zaid bin Aslam, Ibnu Juraij, bahwa “ذَلِكَ” (itu) berarti “هَذَا” (ini). Bangsa Arab berbeda pendapat mengenai kedua ismul isyarah (kata petunjuk) tersebut. mereka sering memakai masing-masing dari keduanya secara tumpang tindih. Dalam percakapan yang demikian itu sudah menjadi sesuatu yang dimaklumi. Dan hal itu juga telah diceritakan Imam al-Bukhari dari Mu’ammar bin Mutsanna, dari Abu Ubaidah.

“الْكِتَابٌ” yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah al-Qur’an. Dan ar-Raib maknanya: “الشَّـكُّ”, artinya keragu-raguan. Î لاَ رَيْبَ فِيهِÏ berarti tidak ada keraguan di dalamnya. Artinya, bahwa al-Qur’an ini sama sekali tidak mengandung keraguan di dalamnya, bahwa ia diturunkan dari sisi Allah, sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam surat as-Sajdah:

Î الم تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لاَرَيْبَ فِيهِ مِن رَّبِّ الْعَالَمِينَ Ï “Alif Laam Miim. Turunnya al-Qur’an yang tidak ada keraguan terhadapnya adalah dari Rabb semesta alam.” (QS. As-Sajdah: 1)
Sebagian mereka mengatakan, yang demikian itu merupakan berita yang berarti larangan. Artinya, janganlah kalian meragukannya.

Di antara qurra’ ada yang menghentikan bacaanya ketika sampai pada kata Î لاَرَيْبَ Ï dan memulainya kembali dengan firman-Nya yang selanjutnya, yaitu, Î فِيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ Ï. Dan (ada juga yang) menghentikan bacaan pada kata Î لاَ رَيْبَ فِيهِ Ï, (yang terakhir ini) lebih tepat daripada berhenti seperti pendapat sebelumnya, dan karena dengan bacaan seperti itu firman-Nya, yaitu “هُدًى” menjadi sifat bagi al-Qur’an itu sendiri. Dan yang demikian itu lebih baik dan mendalam dari sekadar pengertian yang menyatakan terdapat petunjuk di dalamnya.

“هُدًى” ditinjau dari segi bahasa arab bisa berkedudukan Marfu’ sebagai naat sifat, dan bisa juga Manshub sebagai hal (keterangan keadaan). Dan hudan (petunjuk) itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa, sebagai-mana yang difirmankan Allah Ta’ala:

Î يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ Ï

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada klain pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi berbagai penyakit (yang ada) di dalam dada serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(QS. Yunus: 57)

As-Suddi menceritakan, dari Abu Malik dan dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah al-Hamadani, dari Ibnu Mas’ud, dari beberapa sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa makna Î هُدًى لِلْـمُتَّقِينَ Ï, berarti cahaya bagi orang-orang yang bertakwa.

Abu Rauq menceritakan, dari adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, Î لِلْـمُتَّقِينَ Ï adalah orang-orang mukmin yang sangat takut berbuat syirik kepada Allah dan senantiasa berbuat taat kepada-Nya.

Muhammad bin Ishak, dari Muhammad bin Abi Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, al-Muttaqin adalah orang-orang yang senantiasa menghindari siksaan Allah Ta’ala dengan tidak meninggalkan petunjuk yang diketahuinya dan mengharapkan rahmat-Nya dalam mempercayai apa yang terkandung di dalam petunjuk tersebut.

Sufyan ats-Tsauri menceritakan, dari seseorang, dari al-Hasan al-Bashri, ia mengatakan, firman-Nya, Î لِلْمُتَّقِينَ Ï, berarti mereka yang benar-benar takut mengerjakan apa yang telah diharamkan Allah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka serta me-nunaikan apa yang telah diwajibkan kepada mereka.

Sedangkan Qatadah mengatakan, Î لِلْـمُتَّقِينَ Ï, adalah mereka yang di-sifati Allah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melalui firman-Nya: Î الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْـبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ Ï “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib serta mendirikan shalat dan me-nafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 3)

Dan yang menjadi pilihan Ibnu Jarir adalah bahwa ayat ini mencakup kesemuanya itu, dan itulah yang benar.

Telah diriwayatkan dari Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Athiyyah as-Suddi, ia menceritakan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( لاَ يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَ بَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ )

“Tidaklah seorang hamba mencapai derajat muttaqin (orang yang bertakwa) sehingga ia meninggalkan apa yang boleh dilakukannya untuk menghindari apa yang tidak boleh dikerjakannya.(Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib).

Yang dimaksud dengan Î هُدًى Ï petunjuk adalah keimanan yang ter-tanam di dalam hati. Dan tiada yang dapat meletakkannya di dalam hati manusia kecuali Allah Ta’ala. Dalam hal itu Allah Ta’ala berfirman: Î إِنَّكَ لاَتَهْدِي مَنْ أَحْـبَبْتَ Ï “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberikan petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qashash: 56)

Dia juga berfirman: Î مَن يَهْدِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَن يُضْلِلْ فَلن تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُّرْشِـدًا Ï “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapatkan petunjuk. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat-kan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17)

Selain itu, Hudan dimaksudkan juga sebagai penjelasan mengenai kebenaran, pemberian dalil terhadapnya, serta bimbingan menuju kepadanya. Allah

Alif laam miim. (QS. 2:1)

Para ahli tafsir telah berbeda pendapat mengenai huruf-huruf potongan yang terdapat pada awal beberapa surat. Di antara mereka ada yang mengatakan, bahwa itu merupakan huruf-huruf yang hanya Allah sendiri yang mengetahui maknanya. Maka mereka mengembalikan ilmu mengenai hal itu kepada Allah dengan tidak menafsirkannya. Pendapat ini dinukil al-Qurthubi dalam tafsir-nya dari Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, dan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhum.

Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam mengatakan, huruf-huruf itu adalah nama-nama surat al-Qur’an.

Dalam tafsirnya, al-Allamah Abul Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari menyatakan hal tersebut menjadi kesepakatan banyak ulama. Beliau juga menukil dari Sibawaih bahwa ia menegaskan memperkuat hal itu. Berdasarkan hadits dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat Alif laam mim as-Sajdah (Surat as-Sajdah) dan hal ata ‘ala al-Insan (Surat al-Insan) pada shalat subuh pada hari Jum’at.

Sebagian ulama meringkaskan dari masalah ini dengan menyatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa huruf-huruf ini tidak diturunkan Allah Ta’ala dengan sia-sia dan tanpa makna. Orang yang tidak tahu mengatakan bahwa “Di dalam al-Qur’an terdapat suatu hal yang tidak memiliki makna sama sekali,” ini merupakan kesalahan besar. Karena ternyata suatu hal yang dimaksud itu pada hakekatnya memiliki makna, jika kami mendapatkan riwayat yang benar dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tentu kami akan menerimanya, dan jika tidak, maka kami akan menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala seraya berucap, “Kami beriman kepadanya. Semuanya berasal dari sisi Rabb kami.”

Dan para ulama sendiri belum memiliki kesepakatan mengenai huruf-huruf tersebut, dan mereka masih berbeda pendapat. Barangsiapa yang menemukan pendapat yang didasarkan dengan dalil kuat, maka hendaklah ia mengikutinya, jika tidak, maka hendaklah ia menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala sehingga diperoleh kejelasan mengenai hal tersebut.

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (QS. 2:2)

Ibnu Juraij menceritakan, Ibnu Abbas mengatakan, “ذَلِكَ الْكِتَابُ” berarti kitab ini. Hal yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, as-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Zaid bin Aslam, Ibnu Juraij, bahwa “ذَلِكَ” (itu) berarti “هَذَا” (ini). Bangsa Arab berbeda pendapat mengenai kedua ismul isyarah (kata petunjuk) tersebut. mereka sering memakai masing-masing dari keduanya secara tumpang tindih. Dalam percakapan yang demikian itu sudah menjadi sesuatu yang dimaklumi. Dan hal itu juga telah diceritakan Imam al-Bukhari dari Mu’ammar bin Mutsanna, dari Abu Ubaidah.

“الْكِتَابٌ” yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah al-Qur’an. Dan ar-Raib maknanya: “الشَّـكُّ”, artinya keragu-raguan. Î لاَ رَيْبَ فِيهِÏ berarti tidak ada keraguan di dalamnya. Artinya, bahwa al-Qur’an ini sama sekali tidak mengandung keraguan di dalamnya, bahwa ia diturunkan dari sisi Allah, sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam surat as-Sajdah:

Î الم تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لاَرَيْبَ فِيهِ مِن رَّبِّ الْعَالَمِينَ Ï “Alif Laam Miim. Turunnya al-Qur’an yang tidak ada keraguan terhadapnya adalah dari Rabb semesta alam.” (QS. As-Sajdah: 1)
Sebagian mereka mengatakan, yang demikian itu merupakan berita yang berarti larangan. Artinya, janganlah kalian meragukannya.

Di antara qurra’ ada yang menghentikan bacaanya ketika sampai pada kata Î لاَرَيْبَ Ï dan memulainya kembali dengan firman-Nya yang selanjutnya, yaitu, Î فِيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ Ï. Dan (ada juga yang) menghentikan bacaan pada kata Î لاَ رَيْبَ فِيهِ Ï, (yang terakhir ini) lebih tepat daripada berhenti seperti pendapat sebelumnya, dan karena dengan bacaan seperti itu firman-Nya, yaitu “هُدًى” menjadi sifat bagi al-Qur’an itu sendiri. Dan yang demikian itu lebih baik dan mendalam dari sekadar pengertian yang menyatakan terdapat petunjuk di dalamnya.

“هُدًى” ditinjau dari segi bahasa arab bisa berkedudukan Marfu’ sebagai naat sifat, dan bisa juga Manshub sebagai hal (keterangan keadaan). Dan hudan (petunjuk) itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa, sebagai-mana yang difirmankan Allah Ta’ala:

Î يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ Ï

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada klain pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi berbagai penyakit (yang ada) di dalam dada serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(QS. Yunus: 57)

As-Suddi menceritakan, dari Abu Malik dan dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah al-Hamadani, dari Ibnu Mas’ud, dari beberapa sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa makna Î هُدًى لِلْـمُتَّقِينَ Ï, berarti cahaya bagi orang-orang yang bertakwa.

Abu Rauq menceritakan, dari adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, Î لِلْـمُتَّقِينَ Ï adalah orang-orang mukmin yang sangat takut berbuat syirik kepada Allah dan senantiasa berbuat taat kepada-Nya.

Muhammad bin Ishak, dari Muhammad bin Abi Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, al-Muttaqin adalah orang-orang yang senantiasa menghindari siksaan Allah Ta’ala dengan tidak meninggalkan petunjuk yang diketahuinya dan mengharapkan rahmat-Nya dalam mempercayai apa yang terkandung di dalam petunjuk tersebut.

Sufyan ats-Tsauri menceritakan, dari seseorang, dari al-Hasan al-Bashri, ia mengatakan, firman-Nya, Î لِلْمُتَّقِينَ Ï, berarti mereka yang benar-benar takut mengerjakan apa yang telah diharamkan Allah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka serta me-nunaikan apa yang telah diwajibkan kepada mereka.

Sedangkan Qatadah mengatakan, Î لِلْـمُتَّقِينَ Ï, adalah mereka yang di-sifati Allah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melalui firman-Nya: Î الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْـبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ Ï “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib serta mendirikan shalat dan me-nafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 3)

Dan yang menjadi pilihan Ibnu Jarir adalah bahwa ayat ini mencakup kesemuanya itu, dan itulah yang benar.

Telah diriwayatkan dari Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Athiyyah as-Suddi, ia menceritakan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( لاَ يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَ بَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ )

“Tidaklah seorang hamba mencapai derajat muttaqin (orang yang bertakwa) sehingga ia meninggalkan apa yang boleh dilakukannya untuk menghindari apa yang tidak boleh dikerjakannya.(Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib).

Yang dimaksud dengan Î هُدًى Ï petunjuk adalah keimanan yang ter-tanam di dalam hati. Dan tiada yang dapat meletakkannya di dalam hati manusia kecuali Allah Ta’ala. Dalam hal itu Allah Ta’ala berfirman: Î إِنَّكَ لاَتَهْدِي مَنْ أَحْـبَبْتَ Ï “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberikan petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qashash: 56)

telah berfirman: Î وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ Ï “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52)

Juga firman-Nya berikut ini: Î إِنَّمَآأَنتَ مُنذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ Ï “Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan. Dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (QS. Ar-Ra’ad: 7)

Dan firman Allah Ta’ala: Î وَأَمَّاثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى Ï “Dan ada-pun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih me-nyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu.” (QS. Fushshilat: 41)

Ketahuilah bahwa taqwa pada dasarnya berarti menjaga diri dari hal-hal yang dibenci, karena kata takwa berasal dari kata “الْوِقَايَةُ” (penjagaan).

An-Nabighah bersyair:

سَقَطَ النَّصِيْفُ وَلَمْ تُرِدْ إِسْقَاطَهُ * فَـتَنَاولَتْـهُ وَاتَّقَتْـنَا بِالْـيَدِّ

Penutup kepalanya terjatuh padahal ia tidak bermaksud menjatuh-kannya.

Lalu ia mengambilnya sambil menutupi wajahnya -dari pandangan kami- dengan tangannya.

Diceritakan, Umar bin al-Khatthab Radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai takwa, maka Ubay bertanya kepadanya, “Tidakkah engkau pernah melewati jalan yang berduri?” Umar menjawab, “Ya.” Ia bertanya lagi, “Lalu apa yang engkau kerjakan?” Ia menjawab, “Aku berusaha keras dan bekerja sungguh-sungguh untuk menghindarinya.” Kemudian ia menuturkan, “Yang demikian itu adalah takwa.”

Ibnul Mu’taz telah mengambil pengertian itu seraya mengatakan:

خُـلِّ الذُّنُـوْبَ صَغِيْـرَهَا * وَكَبِيْـرَهَـا ذَاكَ التُّـقَـى

وَاصْنَـعْ كَمَـاشَ فَـوْقَ أَرْ * ضِ الشَّوْكِ يَحْـذَرُ مَا يَـرَى

لاَ تَـحْـقِـرَنَّ صَـغِيْـرَةً * إِنَّ الْجِبَـالَ مِـنَ الْحَصَـى

Tinggalkanlah dosa kecil maupun besar dan yang demikian itu adalah takwa.

Jadilah seperti orang yang berjalan di atas tanah yang berduri, berhati-hati terhadap apa yang dilihatnya.

Dan janganlah engkau meremehkan suatu hal yang kecil, sesungguh-nya gunung itu berasal dari batu kerikil.

Pada suatu hari, Abu Darda’ pernah membacakan sebuah syair:

يُرِدُ الْمَرْءُ أَنْ يُـؤْتَى مُنَـاهُ * وَيَأْتِـى اللَّـهُ إِلاَّ مَـا أَرَادَا

يَقُوْلُ الْمَرْءُ فَائِدَتِى وَمَالِـيْ * وَتَقْوَى اللهِ أَفْضَلُ مَا اسْتَفَادَا

Seseorang menginginkan agar harapannya dipenuhi, namun Allah menolaknya kecuali apa yang dikehendaki-Nya.

Ia mengucapkan: “Keuntungan dan harta kekayaanku.” Padahal takwa kepada Allah-lah sebaik-baik apa yang diperoleh dan dimiliki.

Dalam Kitabnya, as-Sunan, Ibnu Majah meriwayatkan, dari Abu Umamah Radhiallahu ‘anhu, ia bercerita, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( مَا اسْتَفَادَ الْمَرْءُ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَـةٍ إِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ، وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِهِ.)

“Tidak ada sesuatu bagi seseorang setelah takwa yang lebih baik dari seorang isteri yang shalihah, yang jika sang suami melihatnya ia selalu membahagiakan-nya, jika suami menyuruhnya ia senantiasa menaatinya, jika suami bersumpah terhadap sesuatu kepadanya, maka dia penuhi sumpahnya. Dan jika suaminya tidak berada di sisinya, ia selalu setia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (HR. Ibnu Majah).

Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)