Remaja Muslim, Valentine’s Day, dan Perlawanan Budaya

Setiap tanggal 14 Februari ada hiruk-pikuk remaja dunia. Mereka punya hajat besar dengan merayakan sebuah hari yang dikenal dengan Valentine’s Day (hari Valentine). Hiruk-pikuk itu kini membudaya. Tak peduli itu di kalangan Kristen Barat, Hindu India, ataupun Muslim Indonesia.

Ada pertanyaan yang patut kita kemukakan. Apa sebenarnya Valentine’s Day itu? Apakah esensinya? Dan, bolehkan remaja Muslim ikut berkecimpung merayakannya? Apakah perayaan itu bagian dari kultur dan peradaban Islam sehingga kita harus ikut menyemarakkannya?

Background Historis Valentine’s Day

Ada berbagai versi tentang asal muasal Valentin’s Day ini. Beberapa ahli mengatakan bahwa ia berasal dari seorang yang bernama Saint (Santo) Valentine, seorang yang dianggap suci oleh kalangan Kristen, yang menjadi martir karena menolak untuk meninggalkan agama Kristiani. Dia meninggal pada tanggal 14 Februari 269 M., pada hari yang sama saat dia mengungkapkan ucapan cinta. Dalam legenda yang lain disebutkan bahwa Saint Valentine meninggalkan satu catatan selamat tinggal kepada seorang gadis anak sipir penjara yang menjadi temannya. Dalam catatan itu dia menuliskan tanda tangan yang berbunyi From Your Valentine. Ada pula yang menyebutkan bahwa bunyi pesan akhir itu adalah Love From Your Valentine.

Cerita lain menyebutkan bahwa Valentine mengabdikan dirinya sebagai pendeta pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Claudius kemudian memenjarakannya karena dia menentang Kaisar. Penentangan ini bermula pada saat Kaisar berambisi untuk membentuk tentara dalam jumlah yang besar. Dia berharap kaum lelaki untuk secara suka rela bergabung menjadi tentara. Namun, banyak yang tidak mau untuk terjun ke medan perang. Mereka tidak mau meninggalkan sanak familinya. Peristiwa ini membuat kaisar naik pitam. Lalu apa yang terjadi? Dia kemudian menggagas ide “gila”. Dia berpikiran bahwa jika laki-laki tidak kawin, mereka akan bergabung menjadi tentara. Makanya, dia memutuskan untuk tidak mengizinkan laki-laki kawin.

Kalangan remaja menganggap bahwa ini adalah hukum biadab. Valentine juga tidak mendukung ide gila ini. Sebagai seorang pendeta, dia bertugas menikahkan lelaki dan perempuan. Bahkan, setelah pemberlakuan hukum oleh kaisar, dia tetap melakukan tugasnya ini dengan cara rahasia dan ini sungguh sangat mengasyikkan. Bayangkan, dalam sebuah kamar hanya ada sinar lilin dan ada pengantin putra dan putri serta Valentine sendiri. Peristiwa perkawinan diam-diam inilah yang menyeret dirinya ke dalam penjara dan akhirnya dijatuhi hukuman mati.

Walaupun demikian, dia selalu bersikap ceria sehingga membuat beberapa orang datang menemuinya di dalam penjara. Mereka menaburkan bunga dan catatan-catatan kecil di jendela penjara. Mereka ingin dia tahu bahwa mereka juga percaya tentang cinta dirinya. Salah satu pengunjung tersebut adalah seorang gadis anak sipir penjara. Dia mengobrol dengannya berjam-jam. Di saat menjelang kematiannya dia menuliskan catatan kecil: Love from your Valentine. Dan pada tahun 496 Paus Gelasius menyeting 14 Februari sebagai tanggal penghormatan untuk Saint Valentine. Akhirnya secara gradual 14 Februari menjadi tanggal saling menukar pesan kasih, dan Saint Valentine menjadi patron dari para penabur kasih. Tanggal ini ditandai dengan saling mengirim puisi dan hadiah, seperti bunga dan gula-gula. Bahkan, sering pula ditandai dengan adanya kumpul-kumpul atau pesta dansa.

Dari paparan di atas kita tahu bahwa kisah cinta Valentine ini merupakan kisah cinta milik kalangan Kristen dan sama sekali tidak memiliki benang merah budaya dan peradaban dengan Islam. Namun, mengapa remaja-remaja Muslim ikut larut dan merayakannya? Ada beberapa jawaban yang bisa kita berikan terhadap pertanyaan tersebut. Pertama, kalangan remaja Muslim tidak tahu latar belakang sejarah Valentine’s Day, sehingga mereka tidak merasa risih untuk mengikutinya. Dengan kata lain, remaja Muslim banyak yang memiliki kesadaran sejarah yang rendah. Kedua, adanya anggapan bahwa Valentine’s Day sama sekali tidak memiliki muatan agama dan hanya bersifat budaya global yang mau tidak mau harus diserap oleh siapa saja. Ketiga, keroposnya benteng pertahanan relijius remaja Muslim sehingga tidak mampu lagi menyaring budaya dan peradaban yang seharusnya mereka “lawan” dengan keras. Keempat, adanya perasaan loss of identity kalangan remaja Muslim sehingga mereka mencari identitas lain sebagai pemuas keinginan mendapat identitas global. Kelima, hanya mengikuti tren yang sedang berkembang agar tidak disebut ketinggalan zaman. Keenam, adanya pergaulan bebas yang kian tak terbendung dan terjadinya de-sakralisasi seks yang semakin ganas. Mungkin masih ada deretan jawaban lain yang bisa diberikan terhadapa pertanyaan di atas.

Islam, Valentine’s Day, dan Cinta

Bisa kita lihat pada bahasan di atas bahwa Valentine’s Day merupakan peringatan “cinta kasih” yang diformalkan untuk mengenang sebuah peristiwa kematian seorang pendeta yang mati dalam sebuah penjara. Yang kemudian diabadikan oleh gereja lewat tangan Paus Gelasius. Maka, merupakan sebuah kurang cerdas jika kaum Muslim dan secara khusus kalangan remajanya ikut melestarikan budaya yang sama sekali tidak memiliki ikatan historis, emosioal, dan religius dengan mereka. Keikutsertaan remaja Muslim dalam “hura-hura” ini merupakan refleksi sebuah kekalahan dalam sebuah pertarungan mempertahankan identitas dirinya. Mungkin ada sebagian remaja yang akan bertanya: Kenapa memperingati sebuah tragedi cinta itu tidak boleh dilakukan? Apakah Islam melarang cinta kasih? Bukankah Islam menganjurkan pemeluknya kasih kepada sesama?

Tak ada yang menyangkal bahwa Islam tidak melarang cinta kasih. Islam sendiri adalah agama kasih dan menjunjung cinta kepada sesama. Dalam Islam cinta demikian dihargai dan menempati posisi sangat terhormat, kudus, dan sakral. Islam sama sekali tidak phobi terhadap cinta. Islam mengakui fenomena cinta yang tersembunyi dalam jiwa manusia. Namun demikian, Islam tidak menjadikan cinta sebagai komoditas yang rendah dan murahan. Cinta yang merupakan perasaan jiwa dan gejolak hati yang mendorong seseorang untuk mencintai kekasihanya dengan penuh gairah, lembut, dan kasih sayang dalam Islam dibagi menjadi tiga tingkatan yang kita tangkap dari ayat Al-Quran. “Katakanlah: Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kerabat-kerabatmu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerusakannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu senangi lebih kau cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24).

Dalam ayat ini menjadi jelas kepada kita semua bahwa cinta yang utama adalah cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya. Inilah yang disebut dengan cinta hakiki. Cinta hakiki akan melahirkan pelita. Cinta hakiki yang dilahrikan iman akan senantiasa memberikan kenikmatan-kenikmatan nurani. Cinta hakiki akan melahirkan jiwa rela berkorban dan mampu menundukkan hawa nafsu dan syahwat birahi. Cinta akan menjadi berbinar tatkala orang yang memilikinya mampu menaklukkan segala gejolak dunia. Cinta Ilahi akan menuntun manusia untuk hidup berarti.

Islam memandang cinta kasih itu sebagai rahmat. Maka, seorang mukmin tidak dianggap beriman sebelum dia berhasil mencintai saudaranya laksana dia mencinta dirinya sendiri (HR Muslim). “Perumpamaan kasih sayang dan kelembutan seorang mukmin adalah laksana kesatuan tubuh; jika salah satu anggota tubuh terasa sakit, maka akan merasakan pula tubuh yang lainnya: tidak bisa tidur dan demam.” (Bukhari dan Muslim). Seorang Mukmin memiliki ikatan keimanan sehingga mereka menjadi laksana saudara (Al-Hujarat: 13), dan cinta yang meluap sering kali menjadikan seorang Mukmin lebih mendahulukan saudaranya daripada dirinya sendiri, sekalipun mereka berada dalam kesusahan (Al-Hasyr: 9).

Di mata Islam mencintai dan dicintai itu adalah “risalah” suci yang harus ditumbuhsuburkan dalam dada setiap pemeluknya. Makanya Islam menghalalkan perkawinan. Islam tidak menganut “selibasi” yang mengebiri fitrah manusia, seperti yang terjadi dalam ajaran Kristen dan Hindu serta Budha yang menganut sistem sosial yang dikenal dengan kependetaan. Sebab, memang tidak ada rahbaniyah dalam Islam.

Valentine’s Day yang merupakan ungkapan kasih yang bukan bagian dari agama kita, juga saat ini dirayakan dengan menonjolkan aksi-aksi permisif, dengan lampu remang, dan lilin-lilin temaram. Meniru perilaku agama lain dan sekaligus melegalkan pergaulan bebas inilah yang tidak dibenarkan dalam pandangan Islam.

Islam dan Perlawanan Budaya

Sebagai agama pamungkas, Islam dengan tegas memosisikan diri sebagai agama yang diridhai oleh Allah, dan siapa saja yang ingin mencari agama selain Islam maka agamanya tidak akan diterima (lihat Ali Imran ayat 19 dan 185). Dan, sebagai agama terakhir Islam telah melakukan beberapa pembenaran dari berbagai penyelewengan yang terjadi dalam agama Kristen dan agama Yahudi. Islam mengharuskan pemeluknya untuk membentengi diri dari semua budaya yang datang dari kalangan Yahudi dan Kristen. Kaum Muslimin harus memiliki budaya dan identitasnya sendiri yang bersumber pada norma dan ajaran agamanya.

Setelah kita mengetahui bahwa Valentine’s Day sama sekali tidak memiliki kaitan sejarah dengan Islam, maka menjadi tugas semua remaja Islam untuk menghindari dan tidak ikut serta dalam sebuah budaya yang tidak bersumber dari ajarannya. Valentine’s Day bukanlah simbol dan identitas remaja Muslim karena ia merupakan hari raya kalangan remaja Kristen. Dan kita persilahkan saudara-saudara kita dari remaja kalangan Kristen untuk merayakannya sesuai dengan keyakinan mereka.

Ada satu hadits yang sangat terkenal yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), “Barang siapa yang menyerupai sebuah kaum, maka dia menjadi bagian dari mereka.” (HR Abu Daud). Hadits ini mengisyaratkan bahwa meniru-niru budaya-reliji orang lain yang tidak sesuai dengan tradisi Islam memiliki risiko yang demikian tinggi. Orang tersebut akan dianggap sebagai bagian dari orang yang ditiru. Sebagaimana juga firman Allah, “Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonga mereka.” (Al-Maidah : 51). Sabda Rasulullah, “Kau akan bersama-sama dengan orang yang kau cintai.” (Bukhari dan Muslim).

Banyak contoh yang bisa kita kemukakan dari kontra-kultural yang dilakukan Rasulullah saw. untuk mengokohkan identitas umatnya. Saat datang ke Madinah Rasulullah saw. melihat masyarakat bersuka ria dalam dua hari. Kemudian Rasulullah saw. bertanya, “Hari apa dua hari itu?” Para sahabat menjawab, “Dua hari tadi adalah hari ketika kami bermain-main dan bersuka cita pada masa jahiliyah!” Maka, bersabdalah Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian: Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR Abu Daud).

Rasulullah saw. misalnya melarang umatnya makan dengan tangan kiri karena cara itu adalah cara makan syaitan. Larangan Rasulullah terhadap peringatan 2 hari ketika orang-orang Madinah biasa bermain pada zaman jahiliyah merupakan perlawanan budaya terhadap budaya jahilyah dan digantikan dengan budaya-reliji baru. Sedangkan pelarangannya agar tidak makan dengan tangan kiri juga merupakan perang etika Islam dengan etika syaitan.

Allah tidak menghendaki kaum Muslimin menjadi “buntut” budaya lain yang berbenturan nilai-nilainya dengan Islam. Peringatan Allah pada ayat di atas membersitkan pencerahan pada kita semua bahwa Islam dengan ajarannya yang universal harus dijajakan dengan rajin kepada dunia. Mengenal Islam dengan cara yang benar dan agar Islam menjadi “imam” peradaban dunia kembali. Sebab, kehancuran peradaban Islam telah menimbulkan kerugian demikian besar pada tatanan normal manusia yang terkikis secara moral dan ambruk secara etika. Kemunduran peradaban Islam telah menjebak dunia pada arus kegelapan akhlak dan moralitas. Kehancuran peradaban Islam ini oleh Hasan Ali an-Nadawi dianggap sebagai malapetaka terbesar dalam perjalanan peradaban manusia. Dia berkata, “Kalaulah dunia ini mengetahui akan hakikat malapetaka ini, berapa besar kerugian dunia dan kehilangannya dengan kejadian ini, pastilah dunia hingga saat ini akan menjadikan kemunduran kaum Muslimin sebagai hari berkabung yang penuh sesal, tangis, dan ratapan. Setiap bangsa di dunia ini akan mengirimkan tanda berduka cita.

Apa yang menimpa remaja Muslim saat ini tak lebih dari dampak keruntuhan peradaban Islam yang sejak lama berlangsung. Remaja Muslim masa kini yang “buta” terhadap peradabannya sendiri disebabkan karena adanya serangan budaya yang gencar menusuk jantung pertahanan budaya kaum Muslimin. Kemampuan mereka untuk bertahan dengan ideal-ideal Islam yang rapuh menjadikan mereka terseret arus besar peradaban dunia yang serba permisif, hedonis, dan materialistik. Lumpuhnya pertahanan mereka terhadap gencarnya serangan budaya lain yang terus menggelombung menjadikan mereka harus takluk dan menjadi “budak” budaya lain. Maka, sudah saatnya bagi remaja Muslim untuk memacu diri melakukan gerilya besar dengan mengusung nilai-nilai Islam. Sehingga dia mampu mengendalikan diri untuk tidak terpancing, apalagi larut dengan budaya-reliji lain. Generasi muda Muslim hendaknya mampu membangun benteng-benteng diri yang sulit ditembus oleh gempuran-gempuran perang pemikiran yang setiap kali akan mengoyak-oyak benteng pertahanan imannya.

Perlawanan budaya ini akan bisa dilakukan jika remaja Muslim mampu mendekatkan dirinya dengan poros ajaran Islam dan mampu melakukan internalisasi diktum-diktum itu ke dalam kalbu, dan sekaligus terkejawantahkan ke dalam aksi. Remaja Muslim yang mampu menjadikan keimanannya “hidup” akan mampu bergumul dan bahkan memenangkan pertarungan yang sangat berat di hadapannya. Remaja Muslim yang dengan setia menjadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai panduan hidupnya akan mampu menjadi seorang Muslim tahan banting dan imun terhadap virus budaya global yang mengancam identitasnya. Seorang remaja Muslim yang menjadi the living Quran akan mampu melakukan kontra aksi terhadap semua tantangan yang dihadapinya. Dia akan mampu menangkis serangan informasi satu arah yang kini datang dari Barat.

Apa yang mesti dilakukan oleh kalangan muda Islam di zaman serba kompleks ini? Dalam pandangan saya, tidak ada yang lebih baik untuk dilakukan, kecuali kita semua kembali merapatkan jiwa dan kesadaran kita ke akar norma agama kita sendiri, lalu kita gali sedalam-dalamnya, kita renungkan semaksimal mungkin, kita aplikasikan dalam hidup ini. Dan, kita pasarkan ajaran-ajaran Islam itu dengan sepenuh raga dan jiwa. Hanya dengan spirit berjuang yang tinggi dan komitmen yang kuat, remaja Muslim akan lahir kembali dalam sosok yang cemerlang dengan Islam sebagai panji.